oleh Gede Prama
SETIAP kali saya terbang melalui bandara-bandara udara kecil seperti Solo
dan Pekanbaru, terasa sekali sentuhan kota kecil yang memikat. Demikian
juga ketika saya dan keluarga tinggal lama di kota kecil Lancaster Inggris,
atau ketika di kota kecil Fontainebleau Prancis.
Di Bandara Adi Sumarno Solo, sebagian orang memanggil nama saya dengan
ekspresi muka yang ramah dan akrab. Baik ketika check in maupun sesaat
setelah landing, selalu saja saya bertemu setidaknya dua muka ramah dan
akrab sambil menyapa penuh persahabatan.
Di Pekanbaru juga sama. Seorang petugas check in untuk pesawat Caltex,yang
mengaku pernah menjadi peserta lokakarya saya di Bandung, selalu saja
memberikan tempat duduk VIP didepan.
Di Lancaster saya juga bertemu suasana yang relatif sama. Suatu hari istri
saya membawa bawaan dari pasar yang tak terlalu berat untuk ukuran orang
Indonesia. Tapi, tiba-tiba saja ada petugas polisi yang menghampirinya,
sambil membawakan barangnya sampai di halte bus.
Demikian juga dengan tukang daging, yang menghadiahkan jeroannya secara
gratis ke kami sekeluarga, setelah curiga kami sekeluarga hidup amat
pas-pasan. Di kota kecil Fontainebleau Prancis juga sama. Lebih dari tiga
kali restoran Cina kota itu memberi saya nasi goreng gratis.
Kenapa tiba-tiba saja saya ingat dengan kehidupan yang serba kecil?
Beberapa waktu lalu, ketika putri saya dijemput mamanya di sekolah, ia
bertutur, bahwa kehidupannya yang paling indah adalah ketika masih tinggal
di kompleks amat sederhana di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan.
Kendati rumah kami amat jelek, kantong saya masih cekak, anak sekolah di SD
negeri pinggiran kota, namun putri saya bertemankan anak-anak tetangga yang
amat jujur, ceria, mudah membantu, dan yang paling penting semuanya dilihat
dari kacamata menyenangkan. Menaiki pohon jambu, mendorong sepeda orang,
atau membentuk tanah yang kotor menjadi patung-patungan,adalah rangkaian
kegiatan yang amat berkesan dalam kehidupan putri saya.
Sekarang, ketika ia belajar di sekolah yang semua muridnya dijemput dengan
mobil pribadi, tinggal diperumahan yang hampir semua tetangga memiliki
Mercedes dan BMW, putri saya kehilangan semua keindahan yang pernah ia
nikmati ketika kehidupan masih `kecil`. Teman-teman sekolahnya yang tumbuh
dari kecil sebagai anak orang berada, hanya mengenal satu kamus
kehidupan:berkompetisi. Anak tetangga hampir semuanya sibuk dengan
kehidupan individunya di rumah megah mereka.
Apa yang mau saya ceritakan dengan semua ini, rupanya kehidupan yang
`kecil` amat patut untuk disyukuri. Baik karena menjadi pembanding
kehidupan, atau juga karena menghadirkan banyak sekali nikmat - persis
seperti yang dialami putri saya. Sayangnya, dengan derasnya arus budaya
yang menganggap bahwa hanya dengan hal-hal `besar`-lah manusia bisa hidup
layak, maka banyak orang yang mengecilkan, atau menyepelekan
kehidupan-kehidupan kecil.
Persis seperti tatapan mata orang-orang kota besar seperti London, Paris,
dan Jakarta. Di mana hanya hal-hal besarlah yang mengundang rasa hormat dan
kagum. Rumah besar, mobil mewah, jabatan megah, pakaian berlimpah. Semuanya
serbabesar dan wah.
Saya tak tahu bagaimana kehidupan Anda. Yang jelas, saya memiliki banyak
sekali teman yang lahir dari orang kaya, kemudian hidupnya bukannya banyak
berkah, malah diikuti oleh keterikatan-keterikatan membelenggu. Hanya bisa
tidur kalau minum obat, hanya percaya diri kalau memakai pakaian dan mobil
mewah, hanya bisa makan di restoran kelas atas, hanya merasa pantas
bermasyarakat setelah main golf.
Bercermin dari sini, kekayaan dan hal-hal besar ini, tidak menghadirkan
berkah kebebasan hidup, malah sebaliknya, mengikat diri dengan tali-tali
semu yang amat mengganggu. Idealnya, tentu saja hidup megah dengan penuh
berkah tentunya. Akan tetapi, sudah menjadi rahasia semua orang, segala hal
yang besar mudah sekali membuat orang menjadi serakah. Untuk kemudian
keluar dari hidup yang penuh rasa syukur dan berkah. Oleh karena alasan
inilah, maka setiap hari saya mendidik diri untuk memperkuat rem
keserakahan.
Di kantor, di jalan, di rumah, di tempat kondangan, atau di hotel, selalu
saja mata dan pancaindra ini mesti direm secara ketat. Dan sejalan dengan
cerita di atas, rem paling pakem adalah pengalaman pernah hidup dengan
kehidupan yang serba kecil.
Sebagai konsultan yang pernah keluar masuk berbagai perusahaan, di berbagai
kota, terasa sekali sentuhan kehidupan yang serbakecil. Di kota kecil
Wonogiri, Jawa Tengah, setiap kali saya memasuki pabrik yang penuh dengan
tenaga kerja wanita, terasa sekali bungkusan-bungkusan kehidupan yang serba
kecil. Baju sederhana, sepeda sederhana, sepatu sederhana. Akan tetapi, di
lingkungan inilah terasa berkah Tuhan berlimpah. Tidak ada karyawati yang
tidak murah dengan ucapan terima kasih. Setiap pemberian, selalu
ditempatkan di atas kepala. Serangkaian hal yang amat jarang saya temui
dilingkungan kerja yang dipenuhi mobil Mercedes, dasi Versace, dan sepatu
Bally.
Belajar dari sini, kalau EF Schumacer menulis bahwa `kecil itu indah`, saya
cenderung beragumam: `kecil itu berkah`. Dan kecil terakhir, tidak
berhubungan dengan jumlah materi, namun berhubungan amat dekat dengan
seberapa bersyukur Anda dengan berkah-berkah Tuhan.
Rabu, 16 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Subhanallah.. sebuah perjalanan hidup dan pengalaman yang sangat berharga mba'. Boleh saya posting di blog saya mba'?
BalasHapusoo ia salam kenal dari saya "naspon riadek" - Jakarta
Silahkan... :)
BalasHapus